Mengapa Keburukan tidak Disandarkan Kepada Allah?
Ahli sunnah wal jama’ah menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan berasal dari Allah ‘azza wa jalla. Allah ta’ala yang menakdirkan dan menciptakan keduanya sebagaimana yang ditunjukkan dalam keumuman firman-Nya,
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [al-Qamar: 49].
Dia juga berfirman,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [az-Zumar: 62].
Dalam Shahih Muslim, dari hadits Umar bin al-Khathab radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Jibril ‘alaihi as-salam bertanya perihal keimana kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul menjawab,
أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
“Iman itu engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para rasul-Nya; hari akhir; dan beriman kepa da takdir, yang baik maupun yang buruk.” [HR. Muslim].
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memahami hadits,
والشر ليس إليك
“…dan keburukan tidak disandarkan kepada-Mu.” [HR. Muslim].
Alim ulama memberikan sejumlah jawaban atas hal tersebut sebagai berikut:
- Artinya keburukan bukanlah media yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah. Inilah yang menjadi pendapat al-Khalil bin Ahmad, an-Nadhr bin Syamil, Ishaq bin Rahuyah, yahya bin Ma’in, Abu Bakr Ibnu Khuzaimah al-Azhari, dan ath-Thahawi rahimahumullah.
- Arti hadits di atas adalah keburukan secara tersendiri, tidaklah disandarkan kepada Allah, seperti ucapan, ‘Wahai Pencipta keburukan’; ‘Wahai Engkau Dzat yang Menakdirkan keburukan’; ‘Wahai Engkau Pencipta kera dan babi’; atau ucapan yang semisal. Inilah pendapat Abu Utsman ash-Shabuni dan konon juga menjadi pendapat al-Muzanni rahimahumullah.
- Arti hadits tersebut adalah keburukan tidak naik menuju-Mu, karena yang naik menuju-Mu adalah perkataan yang baik dan amal yang shalih.
- Arti redaksi hadits tersebut adalah Allah ta’ala tidak menciptakan keburukan yang benar-benar murni keburukan, sehingga keburukan yang diciptakan-Nya jika dipandang lebih dalam bukanlah semata-mata keburukan jika disandarkan kepada-Nya, karena hal itu bersumber dari hikmah yang besar. Dengan begitu, setiap takdir dan ketentuan Allah ta’ala adalah baik dan tidaklah buruk sama sekali, karena yang buruk itu terletak pada apa yang ditakdirkan, yang merupakan obyek kreasi dan makhluk-Nya. sehingga ada perbedaan antara perbuatan Allah ta’ala yang seluruhnya merupakan kebaikan; dan kreasi serta makhluk-Nya, yang dapat mengandung kebaikan dan keburukan. Pendapat yang terakhir inilah yang menjadi pilihan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Ibnu al-Qayyim, Ibnu Abi al-Izz rahimahumullah.
Ibnu al-Qayyim berkata,
القدر لا شر فيه بوجه من الوجوه فإنه علم الله وقدرته وكتابه ومشيئته ، وذلك خير محض وكمال من كل وجه ، فالشر ليس إلى الرب تعالى بوجه من الوجوه لا في ذاته ولا في أسمائه ولا في صفاته ولا في أفعاله ، وإنما يدخل الشر الجزئي الإضافي في المقضي المقدَّر ، ويكون شراً بالنسبة إلى محلٍ وخيراً بالنسبة إلى محل آخر ، وقد يكون خيراً بالنسبة إلى المحل القائم به من وجه كما هو شر له من وجه ، بل هذا هو الغالب ، وهذا كالقصاص وإقامة الحدود وقتل الكفار ، فإنه شر بالنسبة إليهم لا من كل وجه ، بل من وجه دون وجه ، وخير بالنسبة إلى غيرهم لما فيه من مصلحة الزجر والنكال ودفع الناس بعضهم ببعض
“Takdir sama sekali tidak mengandung keburukan, karena dia adalah ilmu, kekuasaan, kitab (penulisan), dan kehendak Allah. Seluruhnya murni kebaikan dan kesempurnaan yang absolut di segala sisi. Sehingga keburukan tidaklah disandarkan kepada Allah ta’ala, tidak pada Dzat-Nya; tidak pula pada nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Keburukan yang bersifat parsial hanya terdapat pada apa yang ditakdirkan, yang bisa dipandang sebagai keburukan pada satu tempat, sementara di tempat lain bisa dipandang sebagai kebaikan pada sisi yang lain. Dan terkadang pada satu tempat, hal itu merupakan kebaikan jika dipandang satu sisi, meski di sisi lain bisa berupa keburukan, namun umumnya kebaikan itu yang dominan. Contoh hal ini adalah seperti penerapan hukum qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang kafir (yang berhak dibunuh). Hal itu memang keburukan bagi pelakunya, hanya dari satu sisi; namun hal itu merupakan kebaikan bagi orang lain seiring adanya maslahat karena hal itu merupakan tindakan preventif, hukuman, dan upaya agar masyarakat tidak berlaku main hakim sendiri.” [Syifa al-Alil].
Pada dasarnya seluruh arti yang disampaikan alim ulama di atas untuk redaksi hadits tersebut adalah arti yang tepat, dimana hadits tersebut bisa dimaknai dengan keempat arti di atas. Namun, arti yang terakhir lebih sesuai dan lebih komprehensif dalam menyucikan Allah ta’ala dari segala keburukan. Selain itu, arti tersebut lebih cocok dengan redaksi hadits. Wallahu ta’ala a’lam.
Ibnu al-Qayyim mengatakan,
(والشر ليس إليك) معناه : أجل وأعظم من قول من قال : والشر لا يتقرب به إليك، وقول من قال : والشر لا يصعد إليك، وأن هذا الذي قالوه وإن تضمن تنزيهه عن صعود الشر إليه والتقرب به إليه فلا يتضمن تنزيهه في ذاته وصفاته وأفعاله عن الشر، بخلاف لفظ المعصوم الصادق المصدق فإنه يتضمن تنزيهه في ذاته تبارك وتعالى عن نسبة الشر إليه بوجه ما، لا في صفاته ولا في أفعاله ولا في أسمائه، وإن دخل في مخلوقاته
“(Dan keburukan tidaklah disandarkan kepada-Mu), artinya lebih agung dan mulia daripada sekadar mengartikannya dengan ‘dan keburukan tidaklah menjadi media peribadahan kepada-Mu’ atau ‘keburukan tidaklah naik kepada-Mu’. Arti yang disampaikan oleh sejumlah ulama ini, meskipun mengandung penyucian bahwa keburukan itu tidak naik menuju Allah dan tidak menjadi media ibadah kepada-Nya, namun arti-arti tersebut tidaklah mengandung penyucian kepada Allah, baik terhadap Dzat, sifat, dan perbuatan Allah dari keburukan. Hal itu berbeda dengan redaksi lafadz hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ma’shum dan benar lagi dibenarkan. Redaksi hadits beliau mengandung penyucian kepada Allah, dalam Dzat-Nya, dari penyandaran segala keburukan kepada-Nya, tidak pada sifat, perbuatan, maupun nama-Nya, meski keburukan itu terkandung pada makhluk-makhluk-Nya.” [Badai’ ash-Shanai’ 2/182].
Catatan:
Alim ulama menyebutkan bahwa keburukan tidak boleh disandarkan kepada Allah secara tersendiri, kecuali salah satu dari tiga hal berikut:
- Keburukan itu tercakup dalam makhluk Allah secara umum seperti firman Allah ta’ala,
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ
“Allah menciptakan segala sesuatu.” [az-Zumar: 62].
- Keburukan itu disandarkan pada sebab yang juga diciptakan seperti firman Allah ta’ala,
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“(Aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan makhluk-Nya.” [al-Falaq: 2].
- Subyek dibuang pada redaksi kalimat seperti pada firman-Nya,
وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
“Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Allah menghendaki kebaikan bagi mereka.” [al-Jin: 10].
Telah disebutkan sebelumnya Allah ta’ala menciptakan kebaikan dan keburukan; namun pada redaksi ayat di atas, ketika menyebutkan keburukan, Allah tidak disebutkan sebagaimana ketika menyebutkan kebaikan.
Inilah yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.
Artikel asli: https://muslim.or.id/54209-mengapa-keburukan-tidak-disandarkan-kepada-allah.html